Kematian ADALAH merupakan topik yang luas dan kompleks membutuhkan waktu yang panjang dan ruang yang lebih besar. Kematian, perpisahan dan kompleksitasnya bersifat subjectif, sehingga kita hanya “mampu” memberikan dukungan moral pada keluarga yang ditinggalkan ketika kita telah pernah mengalami sendiri penderitaan pahit dengan kematian.
Menurut Elisabeth Kubler-Ross, seorang psikiatri dari Swiss yang kemudian bermukim di Arizona, ada lima tahap yang biasanya dilalui oleh seseorang ketika mengalami duka cita akibat kematian salah seorang anggota keluarga atau teman dekat. Tidak semua orang mengalami reaksi-reaksi yang sama dan melalui setiap tahap demi tahap secara berurutan. Lamanya seseorang dalam satu tahap beralih ke tahap berikutnya, berbeda-beda pada setiap orang, tergantung pada pengalaman dan lingkungan budaya.
Lima Tahap Menuju Kematian
Tahap 1: Denial and Isolation:Penolakan/Penyangkalan dan Isolasi
Tahap 2: Anger:Kemarahan
Tahap 3: Bargaining : Tawar Menawar
Tahap 4: Depression: Depresi
Tahap 5: Acceptance: Penerimaan
Tahap Yang Melibatkan Keluarga
Pada tahap anger (kemarahan), yang bersangkutan dan keluarga tidak menerima dengan adanya kematian sudah di depan mata. Secara umum semua orang tidak menyukai kematian atau perpisahan dengan orang yang dikasihi. Akibat tidak menerima kematian, timbullah tindakan mulai menyalahkan semua pihak, seperti, "apakah penyebab itu semua sehingga dapat terjadi" "mengapa hal ini bisa terjadi?". Malah terkadang saling menmenyalahkan Tuhan. Anger atau marah adalah salah satu reaksi wajar menyalahkan situasi dan orang lain, team dokter dan tim medis, rumah sakit atau bahkan menyalahkan rumah sakit bahwatidak memiliki peralatan yang memadai, dll. Anger atau marah adalah reaksi yang wajar dialami orang yang sedang dirundung duka.
Tetapi apabila ada keluarga yang berduka mulai menunjukkan reaksi pada kematian dengan menyalahkan orang lain, bagaimana seharusnya kita yang diluar “lingkaran duka” merespons manifestasi emosi itu?
Apakah kita harus serang balik yang bersangkutan :”cari tau dulu dong mengapa pendetanya tidak datang….” ”mengapa keluarga tidak memberitahu semua keluarga, sebelum ventilatornya dicabut… “ “seharusnya keluarga menunggu semua keluarga hadir dong…!” dll . Contoh-contoh diatas adalah ajakan pada keluarga yang berduka untuk perpikir rasional dan objective.
Jangan lupa bahwa orang yang sedang berduka pada umumnya tidak rasional dan tidak objective.
Kubler-Rose menulis dalam buku On Death and Dying : “No matter the stage of illness or coping mechanism used, all our patients maintained some form of hope until the last moments.” Tiap-tiap orang hingga akhir hidupnya tetap mempertahankan suatu bentuk pengharapan hingga saat-saat terakhir. Ketika "the last moment" saat detik-detik terakhir berlangsung, peranan penyertaan seorang spiritual counselor dan keluarga terdekat sangat penting sekali.
Kehadiran pendeta,rohaniawan, ustad, ahji dll sangat diperlukan, bukan hanya bagi si penderita yang sedang berjuang pada detik-detik terakhirnya, tetapi berperan juga bagi keluarga yang akan di tinggalkan. Secara normal perasaan keluarga yang ditinggalkan sangat terpukul.
Pada saat detik-detik yang berharga berharga sebelum menghembuskan nafas terakhir rasa "form of hope" harus sempurna. Makanya sangat diperlukan orang-orang terkasih, keluarga dekat untuk berada dekat dengannya, pada saat detik-detik terakhir menjelang berakhirnya kehidupan.
Kehadiran seorang rohaniawan memiliki makna spiritual juga dapat dirasakan oleh keluarga selain oleh si penderita yang akan pergi untuk selama-lamanya.
No comments:
Post a Comment